MAKALAH PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN IJTIHAD SERTA FATWA DALAM ISLAM
Maruf al-Dawalibi berpendapat bahwa ijtihad itu diklasifikasikan menjadi tiga bagianyaitu:
- al-Ijtihad al-Bayi
Yaitu menjelaskan hukum-hukum syara yang memang kepastian hukumnya sudah ada dalam nash, baik al-Quran maupun al-Hadits.
- al-Ijtihad al-Qiyasi
Yaitu menggali hukum syara karena adanya suatu kejadian baru yang di dalam nash tidak ada ketentuan hukum pastinya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan metode analogi atau qiyas.
- al-Ijtihadi al-Istishlahi
Yaitu menggali hukum dari suatu kejadian baru yang kepastian hukumnya dalam nash tidak ada. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori hukum islam atau qaidah istishlahi.
Ditinjau dari jumlah pelakunya, Ijtihad dibagu menjadi 2, yakni :
- Ijtihad fardi atau Ijtihad secara individual yaitu ijtihad dalam sesuatu sersoalan hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid, bukan oleh sekelompok mujtahidin.
- Ijtihad Jamai atau Ijtihad secara kolektif. Yaitu Ijtihad dalam sesuatu persoalan hukum dimana sekelompok Mujtahidin mengadakan analisa sesuatu masalah untuk kemudian ditetapkan hukumnya. Ijtihan semacam ini telah banyak dilakukan oleh Sahabat Nabi, para tabiin dan ulama mujtahidin di masa lampau. Abu Bakar telah mengadakan Ijtihan macam ini dalam membagikan harta antara orang-orang Muhajirin dan orang Anshor. Adapun dasar Ijtihad fardi adalah hadist Muadz ketika diutus ke Yaman untuk menjadi wali dan hakim disana.
Apabila ditinjau dari segi lapangannya, Ijtihad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
- Ijtihad pada persoalan-persoalan hukum yang ada nashnya yang bersifat dhanni yakni dengan jalan mentarjihkan suatu pemahamanyang tepat dengan tidak keluar dari maksud-maksud nash.
- Ijtihaduntuk mencapai suatu hukum syara dengan penetapan qaidah kuliyyah yang bisa diterapkan tanpa adanya suatu nash maupun ijma di dalamnya.
- Ijtihad Birrayi yaitu berijtihad dengan bepegang pada tanda-tanda dan wasilah yang telah diteapkan syara untuk menunjuk pada suatu hukum. Ini dilakukan pada persoalan-persoalan yang tidak ada nashnya dan tidak dapat diterapkan dengan qaidah-qaidah kulliyah serta belum pernah di ijmakan.
SIFAT-SIFAT IDEAL BAGI MUFTI
Imam ahmad mengharapkan seorang mufti seyogianya bersifar sebagai berikut :
a. Kuat niatnya. Diharapkan bagi seorang mufti dalam memberikan fatwa hanya semata-mata karena Allah.Seorang mufti yang memberikan fatwa lantaran mengharapkan imbalan harta, kemulian dan jabatan dari penguasa hanya keduniaan itulah yang di peroleh.
b. Berpengeathuan, sabar, penuh hormat dan tenang. Pengetahuan merupakan modal yang sangat penting bagi seorang mufti. Tanpa pengetahuan terhadap apa yang di fatwakan akan menyesatkan orang yang diberi fatwa dan bahkan menyesatkan diri sendiri. Karena yang di fatwakan itu hukum-hukum Allah padahal kenyataannya ia tidak berpengetahuan dalam hal itu, maka tindakannya itu tidak lain hanyalah penipuan belaka. Menipu hukum Allah berarrti menipu Allah. Apabila pengetahuan itu memperkenalkan seseorang akan kepintarannya, maka kesabaran, dan ketabahan serta menahan diri dari nafsu itu menjadi pemantap kepandaiannya. Sedang penuh hormat dan ketenangan itu adalah buah dari kesabarannya.
c. Kuat terhadap yang di kuasainya dan terhadap yang ketahuinya. Seorang mufti hendaknya orang yang mendalam ilmunya, sebab jika picik pengetauannya , maka fatwanya akan membuat mundur dari kebenaran dalam bidang yang harus seharusnya di majukan dan telalu maju dalam hal-hal yang seharusnya mundur.
d. Cukup ekonominya .penghidupan tidak tergantung pada orang lain dan tidak selalu mengharapkan uluran tangan seseorang. Kecukupan ini sangat membantu mereka dalam menghidupkan ilmunya. Seorang mufti yang selalu mengahrapkan bantuan orang lain akan selalu di hina dan dicerca oleh orang banyak.
e. Mengenal masyrakat. Seorang mufti yang acuh tak acuh terhadap kondisi dan situasi masyarakat niscaya tidak berhasil. Kerusakan dari fatwa yang kurang bijaksana itu akan lebih banyak daripada kemashlahatan yang diharapkan.
KEWAJIBAN BAGI SEORANG MUFTI
Seorang mufti yang hendak menyampaikan fatwanya harus memelihara hal-hal berikut :
a. Tidak memberikan fatwa sewaktu dalam keadaan gundah, grogi, takut atau tidak tenang jiwanyan.
b. Menghadapkan hatinya kepada Allah, memohon pertolongan kepadanNya agar dibuka jalan petunjuk kebenaran. Untuk itu ia harus mengkaji alqur an, as-sunnah dan atsar-atsar sahabat, menelaah dan mempelajari pendapat-pendapat para ulama.
c. Mengusahakan hukum yang di fatwakan diridhai ole tuhan. Dalam hal ini tidak layak jika fatwanya itu hanya menurut pendapat-pendapat di antara para ulama tanpa memberitahukan yang lebih rajih diantara pendapat-pendapat tersebut dengan argumentasinya yang lebih kuat.[13]
MUFTI MUQALLID
Seseorang yang belum sampai kepada tingkatan mujtahid, akan tetapi, dia menghafal pendapat pendapat dari salah seorang mazhab yang kemudian di ambil dan di ikutinya pendapat mazhab itu dibolehkan memberikan fatwa pendapat mazhab yang di ikuti dan di yakini kebenarannya itu selagi memahami itu selagi dia memahami dasar dsarnya dan melaksanakanya dengan baik dan tidak ada mujtahid lain tempat bertanya.[14]
Mufti muqallid bukan mufti sesungguhnya.Tetapi dia adalah penyampai fatwa orang yang di taqlidkannya. Dalam hal ini dia harus menerangkan nama imam yang di ambil pendapatnya bukan hanya disebutkan terdapat didalam kitab-kitab mazhab saja.
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA MEMBERI KEPUTUSAN ( QADHA) DAN MEMBERI FATWA (IFTA)
Antara kekuasaan qadha dan ifta terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah bahwa baik hakim maupun mufti harus :
a. Memahami peristiwa yang hendak dimintakan keputusan atau fatwa.
b. Memahami hukum syar i yang akan diterapkan kepada peristiwa tersebut.
Adapun perbedaanya ialah :
1. Memberi fatwa itu ebih luas jangkauannya dari pada memberi keputusan. Fatwa bisa di berikan kepada siapa saja dari teman atau kawan, orang laki-laki atau perempuan , kerabat jauh atau dekat dan orang awam atau cendikiawan.
2. Keputusan diberikan kepada orang yang dikalahkan perkaranya dan harus dilaksanakan. Berlainan dengan fatwa dimana orang yang diberi fatwa dapat memilih untuk mengikuti fatwa yang diberikan atau mmeninggalkannya.
3. Keputusan hakim yang berlawanan dengan fatwa seorang mufti tetap dijalankan. Fatwa dari seorang mufti tidak dianggap dapat membatalkan keputusan hakim yang mendahuluinya .berlainan dengan keputusan hakim yang berlawanan dengan keputusan hakim yang berlawanan dengan keputusan hakim yang mendahuluinya tidak dapat dilaksanakan.
4. Seorang mufti tidak dapat memberi keputusan , kecuali jika diberi kekuasaan untuk memberi keputusan. Berlainan dengan hakim ia wajib memberikan fatwa bila dikemukakan masalah kepadanya dan boleh memberikan fatwa atas masalah yang tidak diajukan kepadanya.[15]
Ruang Ijtihad
Tidak semua hukum syariah dapat dijadikan majâl (ruang) ijtihad. Karena itu, ada ulama ushul yang mendefinisikan ijtihad sebagai: usaha keras mujtahid dalam rangka mencari hukum syariah dengan cara istinbâth (penggalian hukum) atas masalah yang tidak memiliki dalil qathi baik dari nash (al-Quran dan as-Sunnah) maupun Ijmak, yakni Ijmak Sahabat.[16] Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:
??????????????????????????
Tidak boleh ada ijtihad ketika ada nash (Al-Bujairimi, Tuhfatul Habîb ala Syarkh al download now